SYA'RA MOTOR SPORT

Minggu, 28 Februari 2010

sedikit kutipan tentang MANGLAYANG


Dari arah Cibiru, Cileunyi, dan Jatinangor, Gunung Manglayang (1.817 meter di atas permukaan laut) tampak seperti berada di awang-awang, melayang bersayapkan mega-mega. Toponimi gunung ini berasal dari kata "layang" yang ditambah awal "ma" yang kini sudah tidak produktif lagi, menjadi ma+layang, yang kemudian berubah menjadi ma(ng)layang.

Pada awal perkembangan bahasa Sunda, awalan "ma" sangat produktif dipakai masyarakat, seperti terdapat dalam kata ma+riuk, ma+rieus, ma+leber, ma+labar, dan lain-lain, yang menunjukkan maksud seperti atau menyerupai.
Bujangga Manik, rahib peziarah dari Pakuan Pajajaran abad ke-16, pernah menziarahi tempat-tempat suci di Cekungan Bandung. Satu di antara kerucut di Bandung yang diziarahi adalah Bukit Langlayang. Bujangga Manik menulis bahwa sebelah barat gunung ini adalah Gunung Palasari, seperti yang terdapat dalam catatan perjalanan reflektifnya saat melintas Cekungan Bandung:

… Sadiri aing ta inya,
leumpang aing ngalérbarat.
Tehering milangan gunung:
itu ta bukit Karesi
itu ta bukit Langlayang
ti baratna Palasari …

(J. Noorduyn dan A. Teeuw,Tiga Pesona Sunda Kuna, 2009).

Gunung Manglayang dan Gunung Palasari tidak dilewatkan oleh Bujangga Manik, karena di gunung ini sampai sekarang masih ada tempat-tempat yang dianggap suci, seperti di atas Cipulus yang berupa peninggalan tradisi megalitik yang masih terawat, di sumber mata air dan di puncak gunungnya. Dr. N.J. Krom (1914) melaporkan, di lereng Gunung Manglayang, seperti di Pasir Cipanjalu terdapat patung Çiwa Mahadewa dan satu Nandi. Di Pasir Pamoyanan ada dua Çiwa, satu Durga, dan satu alas. Semua itu disimpan di Museum Pusat di Jakarta.

Bagaimana sejarah bumi Gunung Manglayang? Dalam peta cukup dituliskan tak teruraikan. Tak teruraikan dapat dibaca karena belum diteliti dengan baik, sehingga tidak dapat dipahami secara terperinci. Bila melihat geomorfologi puncak gunung ini, terlihat ada dua lengkungan curam yang di tengahnya terdapat kerucut terakhir, yang kini disebut Gunung Manglayang.

Setengah lingkaran pertama, lengkungang terluar, sumbing, terbuka ke arah tenggara selebar 5 km, di dasar gawirnya terdapat sungai yang mengarah ke selatan, seperti Ci Seupan, Ci Palintang, Ci Nambo. Di dasar gawir ini terdapat pelataran sempit yang melingkar dan dijadikan permukiman, seperti Kampung Parabonan, Palalangon, Pasirjirak, Palintang, Ciangkeb-Banyuresmi. Di pelataran itu, ada bagian yang lebih menonjol, disebut Pasir Patokbeusi (1.557 mdpl). Perkampungan itu sekaligus berada di kaki kerucut yang kedua. Kerucut ini puncaknya terlihat sumbing, terbuka ke arah tenggara selebar 2 km. Lingkaran gawir-gawirnya yang curam itu mungkin saja terjadi karena adanya ledakan, atau proses alam lain. Titik tertinggi di lingkaran kedua ini adalah Pasir Buluh (1.535 m. dpl).

Di lembah curam Gunung Manglayang yang terbuka ke barat daya, di dasarnya dialiri Ci Hampelas. Sepanjang sungai ini, mulai Pasirangin dan Cigupakantonggoh, dasarnya berupa lava hitam dan abu tua sepanjang 2 km bersambung bertingkat-tingkat, membentuk jeram dan curug (air terjun) yang banyak didatangi masyarakat.

Setidaknya ada enam curug, cai urug yang sudah diberi nama, seperti Curug Batupeti, Curug Papak, Curug Panganten, Curug Kacapi, Curug Leknan, dan Curug Dampit. Disebut Curug Batupeti karena di samping curug itu terdapat bongkah lava yang terbelah karena proses alam, membentuk dua sisinya rata menyerupai peti yang bertutup. Curug Papak, karena di sana terdapat bongkah lava yang permukaannya rata, datar. Di Curug Panganten ada batu yang mirip pelaminan.

Ada juga Curug Kacapi, yang konon, setiap malam Senin, suaranya seperti dentingan kecapi. Dinamai Curug Leknan, karena lembah ini merupakan lokasi jatuhnya pesawat udara pada tahun 1953 dengan pilot berpangkat letnan. Masyarakat menyebut letnan dengan lafal leknan, sehingga lembah itu disebut Legok Leknan, dan air terjunnya Curug Leknan.

Di kiri kanan dasar lembah yang dialiri sungai ini juga terdapat dinding lava yang tebal. Ujung, sekaligus mata air Ci Hampelas adalah Curug Dampit yang menempel di dinding vertikal berbentuk tapal kuda. Puncak tertinggi dari gawir itu adalah puncak Gunung Manglayang. Saat kunjungan Minggu (21/6), curug ini terlihat sekadar basah, sudah tak ada curug. Dinamai Curug Dampit karena pada mulanya berupa air terjun kembar atau dempet, yang berubah menjadi dampit. Lava sepanjang lebih dari 2 km di Ci Hampelas, Cilengkrang ini baik bila dijadikan laboratorium alam, menjadi sumber belajar bagi para siswa, dan wisatabumi bagi masyarakat, berolah raga sambil mengenal alam.

Dari Curug Dampit, perjalanan dilanjutkan meniti lereng curam ke arah selatan. Tebing vertikal ini seharusnya sejak awal sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung. Namun, di jalur yang dilalui, kayu alaminya terlihat kesepian. Banyak tunggul yang sudah melapuk, ini pertanda kawasan securam ini pernah ditebangi kayu alaminya. Di kelelahan itu saya terhibur karena melihat pohon burahol (Stelechocarpus burahol HOOK) sedang berbunga.

Sesampainya di punggungan atas, terlihat hingga di kaki gunung, berupa hutan produksi yang sudah ditinggalkan dan mulai ditumbuhi tanaman pionir. Di ketinggian ini, pinus itu sebaiknya tidak diganti dengan kopi, tapi dibiarkan menjadi hutan hujan tropis, dan ditanami kembali kayu hutan yang pernah ada di sana.

**

Di lereng-lereng yang mendekati kaki gunung dengan kemiringannya yang tidak curam, bila cocok, dapat dijadikan hutan produksi buah-buahan. Satu bukit ditanami nangka, misalnya, satu bukit ditanami sirsak, satu bukit alpukat, rambutan, jambu, mangga, petai, cempaka, kenanga, durian, dan lain-lain, sehingga kawasan itu nantinya akan menjadi sentra buah-buahan, sentra bunga campaka dan kananga. Nama-nama geografi yang ada kemungkinan akan berubah menjadi Pasir Nangka, Pasir Sirsak, Pasir Alpuket, Pasir Rambutan, Pasir Jambu, Pasir Buah, Pasir Peuteuy, Pasir Campaka, Pasir Kananga, Pasir Kadu, dan lain-lain. Banyak contoh nyata, baik di Indonesia ataupun di luar negeri, bila dikelola secara profesional, kebun buah itu dapat menjadi kawasan wisata agro dan sentra buah-buahan yang menguntungkan.

Bila itu terlaksana dengan baik, Gunung Manglayang akan menjadi pusat penelitian keilmuan yang sangat dekat Bandung, seperti untuk ilmu kebumian, pusat penelitian hutan hujan tropis dengan segala penghuninya, baik hewan di darat maupun burung. Di punggungannya akan menjadi pusat pengamatan hutan produksi buah-buahan, dan mendekati kakinya tempat pengamatan tentang hutan yang dikelola bersama masyarakat. (T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar